Saturday, November 24, 2012

KETIKA PEREMPUAN TULUS BERMIMPI ( Kisah Sukses Kelompok Simpan Pinjam Bulukumba Sul-Sel)


Tidak salah apa kata pakar motivator, bahwa “Perubahan tidak akan pernah hadir sebagai sebuah hadiah, tapi perubahan harus diperjuangkan”. Dan impian  sebesar apapun, jika itu diyakini akan dicapai, jika dilandasi oleh upaya maksimal, konsisten dan sabar, pada akhirnya akan diraih.. ungkapan ini telah terbukti atas mimpi yang dicoba ditanamkan oleh fasilitator pada beberapa kelompok Simpan pinjam khusus perempuan binaan pnpm mandiri perdesaan bulukumba.

Perempuan perdesaan dengan segala kekurangannya,  memiliki Potensi dan sumber daya yang belum tergarap maksimal sampai hari ini, mereka banyak dikonotasikan tidak memilikii kemampuan, sulit berkembang, dan seterusnya, akhirnya potensi perempuan perdesaan belum banyak dilirik untuk dikembangkan. Pada tahun 2007, dikebupaten Bulukumba, hadir sebuah program yang berjudul PNPM Mandiri Perdesaan, tentu dengan namanya, akan memberi banyak perubahan terhadap kehidupan social ekonomi masyarakat perdesaan, khususnya perempuan.

Salah satu sisi mulia yang dicoba digarap oleh PNPM Mandiri Perdesaan di awal tahun 2007 di bulukumba adalah, penguatan ekonomi melalui pengembangan usaha simpan pinjam yang dikelolah oleh kelompok perempuan di desa-desa, tentu hal ini menjadi sebuah momentum tersendiri bagi kaum perempuan di desa-desa, yang akhirnya tercatat kurang lebih 200 kelompok simpan pinjam khusus perempuan terbentuk, dihampir semua dusun dan desa lokasi PNPM Mandiri Perdesaan kabupaten Bulukumba.

Kehadiran kelompok-kelompok ini, tentu menjadi issu menarik dalam konteks pemberdayaan, apakah mereka cukup hanya di beri pinjaman modal usaha kewajiban program telah selesai, ataukah kelompok-kelompok  ini patut diantar masuk pada wilayah yang lebih manusiawi, sebagaimana visi PNPM Mandiri Perdesaan, “keberdayaan dan kemandirian”. Pergulatan nurani ini kemudian memaksa para fasilitator untuk merumuskan konsepsi pola pendampingan klp perempuan yang diberi julukan kelompok Simpan dan Pinjam, bukan kelompok pinjam saja.

Tentu dengan gengsi fasilitator program, yang telah menjual sekaligus  dua kata simpul perjuangan kaum pinggiran, yaitu Pemberdayaan dan Kemandirian, menjadi hantu yang selalu menemaninya disaat dirinya akan terlelap dimalam hari… apakah kita akan tega menjadi pemain yang seolah-olah, akan memberi perubahan yang semu.

Bisikan ini kemudian memaksa fasilitator, untuk menterjemahkan sebuah gagasan sederhana yang bisa mengantar para kelompok-kelompok perempuan  untuk bermimpi dengan tulus untuk meraih sebuah harapan. Disadari sepenuhnya oleh fasilitator bahwa PNPM Mandiri Perdesaan, hanyalah sebuah kendaraan bagi seorang gucepara, agar hadir ditengah-tengah kelompok masyarakat sebagai seorang sahabat, keluarga dan saudara yang bisa merasakan suara hati mereka, lalu mencoba mengurai benang merah yang telah lama kusut.

Memang tidak akan mungkin efektif sebuah pendampingan yang dilakukan secara klosal, dan tidak akan mungkin kelompok-kelompok perempuan ini secara serentak mampu mewujudkan mimpinya, tapi paling tidak, proses awal dalam mengajak mereka untuk duduk bersama memikirkan sesuatu tentang kehidupannya,  dilakukan secara utuh, dan berdasarkan akar masalah yang mereka hadapi.

Bahwa mereka butuh dana iyya, tapi sesungguhnya kebutuhan mereka bukan pada dana, karena itu hanyalah obat sesaat. Sehingga awal prosesnya kelompok-kelompok ini diajak duduk bersama dalam sebuah ikatan emosional, mencari akar masalah, kenapa mereka butuh modal pinjaman dari pihak lain. Apa itu menjawab akar masalah mereka. Apakah betul mereka tidak punya potensi dan sumber daya yang bisa digerakkan agar mereka tidak tergantung pada pihak lain.

Akhirnya terjawab bahwa pada dasarnya mereka tidak butuh uluran tangan dari pihak luar, yang mereka butuhkan adalah pihak yang percaya akan kemampuan mereka dan mau menemani mereka untuk menyusun sebuah kesadaran kollektif, mimpi kollektif, harapan-harapan kollektif, aturan-aturan kollektif, dan rencana aksi kollektif.

Meyakinkan sesorang untuk percaya pada kemampuannya, tidaklah mudah, membutuhkan sebuah kesabaran yang tinggi, apalagi yang dihadapi adalah kelompok perempuan. Tetapi seorang fasilitator yang baik harus menyadari sebuah teori sederhana, bahwa seekor binatang yang dilatih dengan tulus dan sungguh-sungguh pada akhirnya akan menghasilkan hasil yang maksimal.

Pada konteks ini sehingga, berbagai aktivitas klp dan pengurus klp, yang didesain, secara konsisten, akan mengantar mereka pada sebuah pemahaman, dan mimpi yang sempurna, yang dapat merubah seluruh energi positif yang ada dalam kelompok itu, khususnya pengurus, untuk bergerak menuju sebuah hasil yang maksimal.   

Apa salah jika kelompok Simpan Pinjam Perempuan diajak bermimpi mewujudkan sebuah bank atau lembaga keuangan mikro?. Sebuah pertanyaan yang menggelitik dan Jawabannya menurut saya adalah tidak salah, karena program PNPM Mandiri Perdesaan, dari segi judul, sudah memaksa semua energy positif kita untuk memberi harapan dan mimpi pada setiap komunitas apapun yang menjadi sasaran program, termasuk kelompok simpan pinjam.

Pada konteks inilah sehingga visi atau mimpi sebuah pendampingan kelompok adalah mutlak adanya, jika tidak dibangun dengan visi atau mimpi yang jelas, maka tentu itu sebuah keniscayaan, sehingga menjadi haram hukumnya kita menyebut kata kemandirian apalagi kata pemberdayaan.   
   
Merumuskan visi atau mimpi dalam sebuah kelompok yang dirumuskan  secara partisipatif, lalu terurai dari sebuah kesadaran kollektif akan pentingnya sebuah perubahan yang harus diperjuangkan, menjadi langkah awal pembentukan kelompok. Materi pembahasan ini yang mengantar kelompok-kelompok simpan pinjam khusus perempuan di awal tahun 2007 dikabupaten bulukumba, berdiri dengan semangat dan beraurah.

Hasilnya, kelompok-kelompok ini dalam waktu 5 bulan, rata-rata telah melakukan usaha simpan pinjam dari modal mereka sendiri, sebelum cair dana pinjaman dari PNPM Mandiri Perdesaan.  Pertemuan bulanan dikelompok berjalan, pelatihan dan rakor bulanan pengurus kelompok simpan pinjam menjadi kegiatan rutin dilakukan ditingkat kecamatan. Serentak pengurus kelompok simpan pinjam, seolah-olah berubah menjadi mahasiswa yang setiap saat siap menerima mata kuliah yang diajarkan oleh fasilitator. Suasana ini kemudian menghantarkan banyak kelompok simpan pinjam menemukan titik terang atas mimpi yang mereka rumuskan 5 tahun lalu.    
  
Masalahnya kemudian adalah ihklaskah kita menghantarkan mereka pada sebuah harapan kemandirian yang kita ajarkan pada mereka, sehingga ketika mereka mencoba secara tulus menyatakan kemandiriannya, kitapun menyambut dengan bangga, ataukah kita tidak siap secara konsep untuk mengantar mereka pada sebuah kemandirian. Karena faktanya mereka secara modal, manajemen, administrasi dan seterusnya, sangat memungkinkan untuk diwujudkan mimpi mereka sebagai lembaga keuangan mikro, yang mandiri dan indevenden.

Contohnya kelompok Edelweis, desa kindang. Kecamatan kindang, kelompok ini telah mengelolah dana miliknya sendiri yang diperoleh dari  keuntungan unit usaha simpan pinjam yang dikelolahnya kurang lebih Rp. 100 Jt, Tabungan anggota dan masyarakat menghampiri 200 Jt. Sehingga satu tahun terakhir ini, kelompok ini tidak lagi bermohon pinjaman ke UPK.

Kelompok Edelweis, telah menggulirkan dana kemasyarakat kurang lebih 1 M. Selain mengelolah unit usaha simpan pinjam, kelompok ini memiliki unit usaha produk makan ringan, yang produksinya setiap hari mencapai 1 Jt, dan telah menyerap 10 orang tenaga kerja.

Pergulatan nurani kembali menguji kita, apakah kelompok Edelweis dan kelompok lainnya yang telah menunjukkan kemandiriannya kita biarkan pada posisi itu, tentu tidak, sehingga beberapa bulan lalu, kelompok yang dianggap telah memenuhi criteria untuk mandiri ini, di latih secara khusus, diprakarsai oleh Devisi TPM RBM,  dengan menghadirkan pihak Perbankan BNI-BRI, Dinas Koperasi dan beberapa pihak lain, untuk memberikan penguatan tentang Manajemen pengelolaan lembaga keuangan Mikro.

Bulan Oktober 2012 sekitar 25 kelompok yang dianggap memenuhi criteria tadi dan telah mengikuti pelatihan Manajemen pengelolaan lembaga keuangan mikro, akan lounching peralihan status menjadi lembaga keungan mikro (PKM), setelah Akte pendiriannya dan berbagai pembenahan admnistrasi telah rampung dilakukan.

INTEGRASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN,


Kebijakan Integrasi seluruh perencanaan pembangunan ke dalam Sistem perencanaan pembangunan regular, menjadi jawaban atas  keterasingan perencanaan pembangunan regular dengan masyarakat, karena telah kehilangan kepercayaan dan makna strategis bagi sebagaian besar  masyarakat, akibat tidak terakomodasinya hasil-hasil Prioritas usulan perencanaan desa dan kecamatan secara signifikan ke dalam    penganggaran APBD selama ini.

Kebijakan Pelibatan seluruh stockholder perencana dan program untuk duduk bersama menyusun sebuah perencanaan strategis mulai dari desa,   yang bertumpuh pada RPJM.Des yang telah disusun sejak awal, memang dirasakan memberi kehangatan hubungan masyarakat dengan pemerintah khususnya tingkat Kabupaten, karena melalui Musrembang, dengan komitmen  seluruh steholder perencana khususnya SKPD, tentu diharapkan akan memberi dampak yang akan lebih besar.

Di Kabupaten Bulukumba, setelah setahun Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan memfasilitasi dan mempersiapkan seluruh dokumen perencanaan ( RPJM.Des dan Review RKP.Des ) yang akan digunakan sebagai bahan materi untuk pelaksanaan Integrasi perencanaan pada awal tahun 2012.

Proses kegiatan perencanaan regular yang dimulai dari desa sampai kabupaten yang juga jadi wilayah pendampingan dan fasilitasi pelaku PNPM Mandiri Perdesaan, mendapat sambutan positif dari Pemda Kabupaten. Mengingat out put dan proses khususnya Musrembang desa dan Kecamatan, menggunakan model perencanaan PNPM Mandiri Perdesaan, dan fasilitator Musrembang desa dan Kecamatan di serahkan total kepada Pelaku PNPM Mandiri Perdesaan, dibantu Bappeda, BPMD, dan beberapa fasilitator program lain.

Persiapan Pelaksanaan Integrasi Perencanaan  
Di Kabupaten Bulukumba, Tahapan persiapan proses kegiatan integrasi perencanaan, setelah Dokumen perencanaan selesai ( RPJM.Des dan Review RKP-Des),  langkah strategis yang dilakukan adalah, membangun persepsi yang sama dari seluruh stekholder, baik Bappeda, DPRD, Aktivis LSM, BPMD, Kades dan BPD dll, tentang tujuan strategis Integrasi Perencanaan.
Devisi Pelatihan RBM, memberi konstribusi dalam bentuk menyiapkan beberapa sesi diskusi dan pelatihan, baik yang dilakukan di Bappeda, DPRD, dan di Warkop, tujuannya adalah  untuk mendorong kesadaran kollektif perencana dan masyarakat tentang pentingnya Integrasi perencanaan dengan berbagai out put yang harus dihasilkan, sehingga masyarakat tidak jenuh dengan istilah Musrembang. Rekomendasi ini kemudian ditanggapi serius oleh pihak Bappeda, sehingga dilakukan berkali-kali diskusi informal tentang strategi  dan Mekanisme perencanaan pola PNPM yang akan digunakan di dalam proses Musrembang desa dan Kecamatan.
Komitmen Bappeda yang diprakarsai oleh Pak. Arfan bersama Sekretaris Bappeda, agar proses integrasi perencanaan melalui musrembang, benar-benar dilakukan dengan baik, apresiasi yang luar biasa ini, menginjeksi seluruh pelaku PNPM Mandiri Perdesaan Bulukumba, untuk mempersiapkan secara baik pelaksanaan Musrembang desa dan Kecamatan.
Salah satu langkah taktis yang dilakukan adalah Rapat dan Diskusi khusus di Ruang Paripurna DPRD membahas persiapan integrasi perencanaan, dan out put Musrembang yang diharapkan oleh masyarakat, yang diprakarsai oleh teman-teman Devisi TPM RBM, dihadiri oleh Ketua DPRD, Wakil Ketua DPRD, Ketua-Ketua Komisi, Kepala BPMD, Sekretaris Bappeda, Para Pelaku PNPM. MPd, Kepala DEsa, LSM dan Pers.
Rapat shering pendampat ini melahirkan beberapa rekomendasi, diantaranya tentang : Integrasi Perencanaan meupakan langkah strategis seluruh stekholder perencana pembangunan baik ditingkat desa, sampai kabupaten agar duduk bersama di Musrembang desa dan kecamatan untuk merumuskan secara bersama prioritas-periritas usulan-usulan pembangunan mulai di desa, kecamatan dan kabupaten, sehingga hasil Musrembang kedepan lebih baik.
Kedua, Integrasi perencanaan merupakan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih perencanaan. Oleh karena itu, PNPM yang dianggap memiliki pengalaman perencanaan yang baik, dan memiliki banyak pelaku baik di desa maupun kecamatan, tidak salah jika menjadi fasilitator proses Musrembang desa dan Kecamatan.
Respon positif Kalangan DPRD tentang integrasi perencanaan, merupakan langkah maju, walaupun sebagaian besar kepala desa, dan perencana lain, khususnya kalangan aktivis LSM yang hadir berharap, agar prioritas Usulan masyarakat di tingkat kecamatan, pada seluruh SKPD/Dinas, agar menjadi acuan utama pada penganggaran daerah tahun depan. Gagasan ini yang tidak mengerucut pada sebuah kesimpulan dialog dengan berbagai stekcholder perencana di  Ruang Paripurna DPRD Bulukumba.. 
Persiapan lain yang dilakukan adalah pelatihan Kades dan BPD  sekabupaten Bulukumba, yang mengambil Tema Konsepsi dan Strategi Integrasi Perencanaan Pembangunan. Pembicara Sekretaris Bappeda, Kepala BPMD, dan Fasilitator Kabupaten PNPM Mandiri Perdesaan.
Pada pelatihan yang merupakan pra kondisi pelaksanaan integrasi perencanaan regular dengan PNPM Mandiri Perdesaan ini, menjadi kesempatan yang kedua bagi kepala desa, BPD, dan berbagai kalangan, yang berharap banyak, agar Musrembang tidak hanya sebagai serimonial perencanaan, tetapi menjadi salah satu acuan bagi SKPD atau Pemda Kabupaten dalam merumuskan perencanaan pembangunan yang mendapatkan alokasi penganggaran daerah.
Harapan ini memang akan terus menjadi bola salju, sebagaimana harapan kehadiran kebijakan integrasi perencanaan, sebagai sebuah strategi advokasi untuk mendorong sebuah regulasi yang memposisikan hasil-hasil Musrembang sebagai salah satu sumber perencanaan yang patut diberi porsi anggran setiap tahun.
Pandangan yang pesimis dan sikap miris terhahap musrembang masa lalu mewarnai acara diskusi setiap sesesi, dan pihak Bappeda yang dianggap salah satu pihak yang paling dianggap berkompoten, dalam soal perencanaan daerah termasuk musrembang, menyadari spenuhnya, bahwa Dalam UU 25 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dikenal, empat pendekatan perencanaan pembangunan. Pendekatan Politis,  Teknokratik, Partisipatif  dan Top Down Butten Up. 
Sekretaris Bappeda memberikan sedikit harapan, bahwa untuk mengurangi bias dan kekecewaan Musrembang, SKPD diharapakan telah menyiapkan RENJA, sehingga terjadi sinergi proses prioritas yang dilakukan oleh masyarakat di Tingkat desa saat Musrembang desa, dan saat Musrembang Kecamatan pihak SKPD, Utusan Desa, dan Pihak Kecamatan, dapat bersinerji dalam proses penyusunan prioritas usulan di tingkat kecamatan, sehingga usulan-usulan prioritas tingkat kecamatan, yang akan di bawah ke Musrembang Kabupaten tidak mengalami hambatan, dan mendapakan posisi tawar yang kuat bagi seluruh SKPD untuk mengakomodir usulan-usulan prioritas.
Pada Pelatihan ini diuraikan Tahapan persiapan dan Alur Musrembang desa dan Kecamatan, yang disajikan oleh Fasilitator Kabupaten PNPM Mandiri Perdesaan.
Setelah proses sosialisasi dan penyamaan persepsi tentang Tujuan dan Strategi Integrasi perencanaan mulai dipahami oleh berbagai stekholder yang akan terlibat pada proses Integrasi perencanaan, baik ditingkat Kabupaten, Kecamatan, dan Desa, persiapan selanjutnya yang dilakukan adalah, Rapat Pemantapan Strategi dan Alur Fasilitasi proses Musrembang desa dan Kecamatan, bagi Fasilitator Kecamatan, BKAD, UPK, PJOK dan PL, difasilitasi oleh Bappeda, BPMD dan Fas.Kab, sebagai Narasumber.

Saturday, April 28, 2012

EKSPLOITAS PEREMPUAN ATAU KAPITALISME BARU Sebuah OTOKKRITIK PNPM Mandiri Perdesaan


Salah satu masalah serius yang dihadapi masyarakat perdesaan khususnya yang berada pada garis kemiskinan, adalah masalah permodalan atau akses masyarakat miskin ke-lembaga keuangan yang sangat kurang, sehingga ketertinggalan dan kemiskinan yang mereka hadapi semakin meng-akut dalam kehidupan mereka. Tetapi tidak cukup hanya memberikan pinjaman modal usaha, masalah yang mereka hadapi dapat terselesaikan dengan baik, karena masalah mereka sangat kompleks, sehingga di butuhkan pendekatan yang harus kompleks, terencana, sistematis, dan teruji.
Kehadiran PNPM Mandiri Perdesaan, dengan salah satu tujuan khususnya untuk mendorong pelembagaan system keuangan mikro di desa, awalnya memberi harapan pada semua pihak, khususnya masyarakat miskin itu sendiri, tetapi ketika Implementasi PNPM Mandiri Perdesaan hanya soal bagaimana masyarakat miskin di beri pinjaman modal usaha, dan hanya sebatas diajarkan berutang dengan baik dan benar, maka harapan untuk keluar dari kompleksitas permasalahan kemiskinan yang dihadapi sangat sulit untuk diwujudkan, karna terbukti, salah satu cita-cita luhur program, diterjemahkan  oleh sebagian besar fasilitator pada wilayah teknis dan prakmatis, yang seolah-olah semakin banyak yang diberi pinjaman akan, semakin banyak RTM diselamatkan.
Kemiskinan hari ini, tidak berdiri sendiri, tapi salah satu dampak dari kuatnya kapitalisme dalam kehidupan social ekonomi dan politik bangsa kita, sehingga masyarakat miskin pedesaan membutuhkan benteng perlindungan, dan salah satu langkah strategis yang perlu dilakukan adalah  melalui “program pemberdayaan”, yang dijalankan dengan tulus dan benar-benar dijalankan dengan baik, sehingga memberi solusi terhadap akar permasalah kemiskinan yang dihadapi masyarakat miskin perdesaan hari ini.
Perbedaan pandangan Fasilitator PNPM Mandiri Perdesaan dalam melihat masalah pelem-bagaan sistem keuangan mikro, karena PNPM Mandiri Perdesaan telah berikrar bahwa dirinya adalah program pemberdayaan, yang akan mendorong kemandirian masyarakat, salah satu asfek adalah kemandirian ekonomi melalui lembaga keuangan mikro yang berpihak pada masyarakat, tetapi gagasan ini kurang dipahami dengan baik sebagian besar fasilitator pengawal program, mungkin  implementasi gagasan besar ini tidak memiliki desain dan bentuk yang dimaksud, sehingga kebanyakan fasilitator terjebak, dan akibatnya memasung gagasan besar program tentang pelembagaan keuangan mikro pada wilayah praktis dan prakmatis, anehnya lembaga keuangan mikro yg dimaksud adalah UPK ( Unit Pengelolah Kegiatan PNPM Mandiri perdesaan di Tingkat Kecamatan).
Mungkin kita sepakat bahwa pendekatan kelompok dalam pemberdayaan adalah final. Sehingga Dalam kaitan dengan pelembagaan keuangan mikro PNPM Mandiri Perdesaan sebagaimana dalam salah satu tujuan khususnya, tentu kelompok yang dibentuk akan didorong untuk menjadi kelompok mandiri atau lembaga keuangan mikro di desa yg mandiri. Seingga salah satu ukuran keberhasilan program adalah seberapa jauh kemandirian kelompok-kelompok SPP yang telah dibina bertahun-tahun, ataukah memang Program PNPM Mandiri Perdesaan sama sekali tidak memiliki niat secara keprograman untuk mengantar kelompok SPP menuju kemandiriannya. Ini penting menjadi bahan renungan kita, karena jika tidak, saya takut kita telah terjebak pada wilayah eksploitasi perempuan, mengingat sistem dan mekanisme simpan pinjam yang diterapkan, menyalahi asas keadilan dan tidk keberpihaan pada klp perempuan.
Kelompok Simpan Pinjam Khusus Perempuan, tidak selayaknya dijadikan obyek program, yang semata-mata diposisikan sebagai sasaran pinjaman UPK, mestinya Kelompok SPP menjadi Mitra, sehingga perlu diberi ruang untuk berkembang dan dilakukan pembinaan secara serius. Contoh kecil ketidakadilan program, UPK memberi pinjaman ke Anggota kelompok SPP dengan jasa pinjaman 1%, tetapi kelompok tidak mendapatkan bagi hasil jasa pinjaman, lalu pengurus dijadikan sebagai tukang tagih oleh UPK. Pada sisi lain, proses pembentukan kelompok sama sekali tidak dibangun kesadaran kollektif,  perumusan visi, tujuan dan cita-cita berkelompok. Artinya kita sudah menjebak kaum perempuan dalam sebuah kondisi yang tidak akan mengenal potensinya, cita-cita mereka, sehingga kelompok SPP sangat rapuh, dan rentan bermasalah,  dan menurut pikiran sehat saya,  kita sudah keluar dari kittah prinsip PNPM Mandiri Perdesaan.  
Mestinya pada petunjuk program khusus tentang masalah  kelompok simpan pinjam, sudah harus jelas, kenapa dibentuk kelompok, tujuan kelompok dibentuk untuk apa?, proses dan metodologi pendampingan seperti apa, visi bersama yang harus dirumuskan dikelompok seperti apa,  Ini penting, agar pemahaman pelaku fasilitator dilapangan, tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat tehknis, karena faktanya fasilitator hanya sebatas mengenal jenis kelompok ceneling dan eksekuting, bentuk dan strategi pendampingannya sama sekali tidak disentuh atau sengaja dikaburkan, sehingga kebanyakan Fasilitator terjebak, bahwa pelembagaan keuangan mikro yaaa UPK, dan ini adalah kekeliruan besar, karena UPK tidak diproses berdasarkan cita-cita bersama, yang dilandasi atas kesadaran kollektif masyarakat bahwa mereka butuh sebuah kelompok yang namanya UPK yang akan mnjadi lembaga keuangan mikro.
Pada Konteks inilah, Kelompok simpan pinjam khusus perempuan, sangat menyalahi kodratnya, jika di desain pada tahap awal pembentukannya untuk menjadi kelompok biasa atau sebagai kelompok caneling, karena itu artinya  kelompok itu dibentuk semata-mata untuk mendapatkan dana pinjaman, sebuah kekeliruan besar. Kalau hanya untuk pinjaman modal usaha lalu masyarakat diajak berkelompok, itu sama dengan pembodohan.
Karena, Tujuan, Visi, dan Prinsip program PNPM-MPd, sangat memuliakan dirinya, bahwa akan mendorong kemandirian masyarakat, tapi implementasinya pada kegiatan ini, hanya sekedar bercerita bagaimana cara-cara berutang dengan baik dan benar, lalu UPK berubah menjadi rentenir baru (new kapitalisme), apa bedanya UPK dengan lembaga perbankan modern yang ada. Yang orientasinya adalah keuntungan, sehingga keberhasilan satu-satunya UPK yaa surplus dan target pengembalian pinjaman, bukan pada seberapa banyak kelompok simpan pinjam khusus perempuan yang telah mandiri yang dibina oleh setiap UPK, sehingga diharapkan melalui kelompok perempuan ini, lahir kartini-kartini yang peduli atas masalah yang dihadapi kaum perempuan di desanya.
 Pinjaman modal yang rencana akan diberikan pada kelompok, mestinya diletakkan sebagai pembuka pintu ke masyarakat, bahwa dengan dana pinjaman ke kelompok, akan menjadi pintu masuk pelaku program ke masyarakat miskin di dusun-dusun untuk duduk bersama membicarakan permasalahan yang mereka hadapi, salah satunya membangun kesadaran kollektif untuk menyusun visi dan cita-cita masyarakat miskin melalui kelompok bahwa mereka membutuhkan sebuah lembaga keuangan mikro yang berpihak pada kondisi perekonomian yang mereka hadapi.
Dengan terbangunnya kesadaran kollektif yang diformulasikan secara partisipatif dari akar kemiskinan yang mereka hadapi, tentu akan dengan mudah mereka rumuskan Tujuan berkelompok, Cita-cita kelompok Simpan Pinjam, aturan-aturan yang akan mengawal perjalanan berkelompok mereka.  Kelompok akan mudah memilih pengurus yang memiliki kompetensi dan rasa tanggug jawab yg lebih, dan banyak hal yang harus dicerahkan dulu sebelum bercerita tentang dana program.
Ada dua semangat yang mendasari secara ilmiah, kenapa kita perlu mendorong lembaga keuangan mikro perdesaan yang terbangun dari kesadaran kollektif masyarakat miskin khusus perempuan,  Pertama, Gagasan ini, sudah teruji, baik yang telah diperkenalkan oleh salah seorang pendiri Bangsa kita yaitu Bapak BUNG Hatta dengan Konsep Koperasi,  Maupun yang dilakukan di Banglades oleh Muh. Yunus melalui Graming Bank dan Kredit Union Kalimantn Barat,  Teori ini meyakinkan saya bahwa apa yang digagas oleh Bunga Hatta dan Muh. Yunus merupakan pikiran cerdas penanganan masalah kemiskinan. Saya masi percaya dengan teori koperasi walau disana sini kebanyakan koperasi meninggalkan jati dirinya, sehingga tujuan berkelompok telah diselewengkan oleh pengurusnya.
Implementasi Gagasan Pelembagaan Keuangan Mikro berdasarkan Tujuan PNPM Mandiri Perdesaan, telah dicoba digagas oleh fasilitator di kabupaten Bulukumba propinsi Sulawesi selatan, sesungguhnya bukan sebuah sikap gaga-gagahan, atau pembangkangan atas petunjuk teknis pengelolaan Simpan Pinjam khusus perempuan PNPM Mandiri Perdesaan, akan tetapi lahir dari kajian mendalam terhadap PTO PNPM Mandiri Perdesaan itu sendiri, dan petunjuk lain, serta pengalaman mendampingi kelompok Simpan pinjam khusus perempuan bentuk Caneling ( kelompok penyalur), yang disimpulkan sebagai sebuah konsep yang gagal.
Karena setelah berjalan bertahun-tahun tidak ada satupun Kelompok simpan pinjam khusus perempuan yang berhasil menjadi kelompok mandiri sebagaimana tujuan program. Dari hasil kajian inilah , dan shering pengalaman pelaku-pelaku PNPM Mandiri Perdesaan di awal tahun 2007, sehingga lahir sebuah draf sistem dan mekanisme pendampingan kelompok simpan pinjam khusus perempuan.
Uji coba desain dan bentuk lain yang diterapkan di PNPM Mandiri Perdesaan kabupaten bulukumba, mendapat tanggapan dingin dari propinsi, dan tidak juga  dinyatakan salah, karena dipetunjuk program sangat dibolehkan dengan bentuk tersebut, hanya saja kecendrungan pelaku PNPM Mandiri Perdesaan sebagian besar untuk terbiasa pada kerangka berpikir prakmatis dan tidak kreatif, sehingga penyederhanaan implementasi gagasan program atau penyandraan gagasan program dimana-dimana menjadi sering terjadi, dan ini yang menjadikan PNPM Mandiri Perdesaan kehilangan roh dan jati dirinya sendiri.
Setelah berjalan antara 3 sampai 5 tahun KSPP Model PNPM Mandiri Perdesaan Kabupaten bulukumba dari 369 klp SPP terdapat 20%,dari  kelompok ini berhasil melewati masa-masa sulit, dan mereka sudah layak dan pantas menyebut dirinya sebagai lembaga keuangan mikro perdesaan yang mandiri dan profesional. Contohnya kelompok Edelwis desa Kindang kecamatan Kindang, setelah 4 tahun bergulat dengan cita-citanya, kelompok ini telah menyalurkan dana ke anggota sejumlah Rp. 918.000.000, dengan jumlah anggota 135 orang, surplus kelompok edelwis pada tahun ini mencapai Rp. 46.000.000,  Dana produktif yang sementara dikelolah Rp. 250.250.000. sehingga setiap bulan terdapat dana kurang lebih Rp.20.000.000, yang siap digulirkan ke anggota atau nasabah. Pinjaman dari UPK selama 4 tahun Rp. 263.500.000 dan telah dikembalikan ke UPK Rp. 217.150.000. berbagai usaha baik usaha kelompok maupun anggota menjadi focus perhatian pengurus. Rentenir sebagai salah satu hantu bagi masyarakat di desanya, tidak dapat berbuat apa-apa.
Tabungan Anggota dan nasabah mencapai Rp. 176.369.000, sehingga sudah hampir setahun kelompok edelwis tidak lagi meminta tambahan pinjaman dana dari UPK, mengingat masyarakat telah menjadikan kelompok ini sebagai tempat yang lebih aman dan menguntungkan untuk menyimpan dana. Cerita sukses kelompok ini diikuti oleh banyak kelompok SPP di desa lain yang ada di Bulukumba. Rencana tahun ini, kelompok-kelompok terbaik disetiap kecamatan ini akan di dorong menjadi Bank mikro perdesaan, sebuah antitesa dari GRAMING BANK, Muhammad Yunus di Banglades.

Thursday, March 8, 2012

Suku Konjo dalam sejarah sulawesi selatan


Bahasa merupakan salah satu media komunikasi yang  vital dalam sebuah masyarakat atau komunitas,  dengan bahasa sebuah sistem nilai dan pranata social sebagai sebuah kebudayaan akan lahir, Bahasa tidak bisa terbentuk dalam waktu hanya beberapa generasi, tapi bahasa lahir dalam sebuah peradaban awal setiap komunitas atau masyarakat, yang memiliki proses tersendiri yang sangat kompleks, dan membutuhkan waktu yang sangat lama, dan dipengaruhi  oleh banyak factor, baik factor geografis, pendidikan, peradaban luar yang kemudian diperkuat oleh sistem nilai social yang ada.
Di sulawesi Selatan, terdapat beberapa bahasa, seperti  bahasa Bugis, Makasar,  Luwu /Toraja. Ke tiga pemilik bahasa ini, kemudian diakui sebagai SUKU yang banyak mendiami pulau Sulawesi pada umumnya, khususnya Sulawesi Selatan. Pada Abad ke 16   Hegemoni politik Kerajaan Besar di daratan Sulawesi, seperti kerajaan Bone dan Gowa, melakukan perluasan pengaruh kekuasaan wilayah kerajaan, ekspansi ini sangat mempengaruhi dialektika peradaban sebuah komunitas yang ditundukkannya, akibatnya terjadi proses asimilasi budaya atau perkawinan budaya, termasuk bahasa
Pada proses Asimilasi ini, akan menjadi tolak ukur kita untuk melihat  seberapa kuat sebuah bahasa dan kebudayaan pada umumnya untuk mempertahankan diri,  bahasa yang memiliki akar nilai dan budaya yang telah bersemayam dalam alam fikiran masayarakatnya pada sebuah komunitas, tentu akan berupaya untuk bertahan. Pada konteks inilah, sehingga bahasa Konjo, yang tentu lahir dari sebuah komunitas adat, memiliki sejarah panjang tersendiri, yang diakui atau tidak tentu pemilik bahasa ini, tidak hanya memiliki sistem nilai yang kuat, tetapi pasti memiliki falsafah hidup yang sangat kuat sehingga mampu melewati  fase-fase sejarah  masyarakat disulawesi selatan pada khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Saya masih percaya, bahwa ada dua factor yang berpengaruh dalam penulisan sejarah sebuah bangsa, pertama kekuasaan, dan Sejarawan itu sendiri, apakah kedua hal ini berpihak atau tidak dalam mengungkap kebenaran sejarah.  Atau bisa saja kemampuan sejarawan yang dipaksakan untuk mengungkap sebuah kebenaran sejarah. Disinilah perlunya otokritik sejarah, karena sejarah tidak mungkin terulang, tapi sejarah akan selalu mengungkap kebenaran dirinya sendiri.  Pada Konteks ini, menjadi Tidak adil sejarah yang kita susun dengan rapi ini, dimana banyak terdapat  dimensi yang bolong dan kurang memiliki alasan.  jika  Bahasa Bugis yang digunakan di beberapa kerajaan yang ada di daerah Bugis pada zamannya, kemudian kita beri satu entitas atas dasar bahasa, sebagai suku Bugis, seperti halnya dengan suku Makassar, Suku Toraja/ Luwu, dan Suku Mandar. Lalu kenapa tidak ada  Suku Konjo, sebagai manipestasi dari bahasa konjo yang digunakan oleh kerajaan-kerajaan yang ada diwilayah bulukumba pada era sebelum masuknya Kerajaan Bone dan Gowa, serta  Belanda. Ini memang menjadi otokritik para sejarawan yang telah lama menapikan Suku Konjo sebagai salah satu suku tertua di negeri ini,
Dalam sejarah Bulukumba, sama sekali tidak dikenal adanya kerajaan Bugis atau Makassar, yang ada adalah Dua kerajaan ini memiliki hubungan emosional dengan kerajaan-kerajaan yang ada  di bulukumba, khususnya Amma Toa, sebagai salah satu komunitas adat yang memiliki peran spiritual terhadap seluruh kerajaan yang ada di Sulawesi pada khususnya, khususnya kerajaan Gowa dan Bone. Namun pada abad ke 17, setelah dua kerajaan ini berkonflik, menjadikan kerajaan yang ada ada di wilayah bulukumba menjadi batas wilayah pengaruh kedua kerajaan ini, sehingga baik, kerajaan Benteng Palio, lembang, Lemo-lemo, Laikang, Borong, dan beberapa kerajaan kecil di wilayah adat ammatoa, menjadi  sasaran perebutan kedua kerajaan ini, serta belanda yang sangat berperan memanfaatkan suasana konflik, akibatnya pase pun kemudian berubah, kerajaan-kerajaan yang dikenal memiliki basis komuinitas yang sangat kecil ini, sangat mnudah dipatahkan oleh Belanda, kecuali Ammatoa, dengan posisinya yang memiliki posisi tawar dan kemampuan spiritual sehingga sama sekali tidak terpengaruh oleh kehadiran belanda. Disinilah dikenal pase pembumi hangusan kerajaan-kerajaan yang ada di Bulukumba. Belanda bersama  sekutu-sekutunya membentuk pemerintahan baru, sebagai perpanjangan belanda. (Bersambung).